MAKALAH
KEBUDAYAAN JAWA TENGAH
Oleh : Ika Ayu Shinta Wulan
NIM : 13040112130073 - Kelas B - Semester 2
Program Studi S1 Ilmu Perpustakaan - Jurusan Ilmu Perpustakaan
Fakultas Ilmu Budaya - Universitas DiponegoroFAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
2013
ABSTRAK
Kebudayaan
merupakan salah satu komponen yang dimiliki oleh suatu bangsa atau daerah,
karena kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia. Kebudayaan tercipta
karena adanya perilaku dan wilayah
geografis yang sama. Budaya merupakan hukum tidak tertulis yang harus ditaati
oleh setiap orang yang menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Dengan budaya mereka
memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh kebudayaan lain mana pun, begitu juga
Jawa Tengah yang memang berisi suku Jawa. Namun juga masih terdapat perbedaan
kebudayaan pada tiap-tiap daerah seperti bahasa, upacara adat, dan juga
kesenian. Meskipun pada intinya sama, namun kecirikhasan tersebut harus tetap
dijaga agar tetap menjadi bangsa yang
bermartabat.
Kata
kunci : kebudayaan, adat, kesenian, Jawa Tengah
BAB
I
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan dan suku,
seperti Batak, Minahasa, Ambon, Flores, Bali, Jawa, Sunda, dll. Apalagi dengan
adanya pulau-pulau yang terpisah, membuat keunikan tersendiri bagi bangsa
Indoesia, hampir setiap pulau memiliki bahasa, adat istiadat atau yang biasa
disebut kebudayaan yang berbeda meskipun pada intinya sama. Namun dalam makalah
ini tidak akan membahas semua kebudayaan di Indonesia, namun di Jawa Tengah saja.
Jawa Tengah memiliki kebudayaan yang unik yaitu pada tradisi leluhur,
meskipun pada saat ini tradisi tersebut sudah banyak luntur karena adanya
globalisasi yang membuar masyarakat Jawa menganggap bahwa tradisi tersebut
“ribet”. Namun biasanya tradisi tersebut masih diterapkan pada acara ritual
seperti pernikahan, saat melahirkan, atau pada tanggal-tanggal tertentu,
meskupun sudah tidak seketat zaman dahulu. Jawa Tengah sendiri berada di utara
Samudra Hindia dan selatan pantai utara Jawa sehingga jelas bahwa Jawa Tengah
memiliki perairan yang luas, selain itu juga banyak sekali pegunungan serta
gunung-gunung yang berapi maupun tidak berapi sehingga memiliki tanah yang
sangat subur, dan masyarakat sendiri memang sangat dekat dan mencintai alamnya.
Disamping semua kekayaan di atas masyarakat Jawa Tengah atau yang sering
disebut suku Jawa menyimpan segudang kebudayaan yang beraneka ragam dan juga
banyak yang berbau mistis. Namun disini saya akan menekankan bahwa kebudayaan
adalah hasil cipta, rasa, karsa manusia, sehingga sangat jelas sekali bahwa
kebudayaan adalah suatu tindakan, perilaku, adat-istiadat yang baik yang
dimiliki suatu daerah dan menjadi sebuah kebiasaan pada kehidupan sehari-hari.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Setiap masyarakat memiliki kewajiban menjaga dan melestarikan budayanya,
maka makalah ini memiliki maksud dan tujuan agar masyarakat mengetahui
kebudayaan Jawa Tengah di tengah-tengah tergerusnya kebudayaan dalam negeri
oleh fenomena globalisasi, dan untuk menumbuhkan akan rasa cinta dan bangga
terhadap budaya sendiri dan tidak melupakannya. Karena bagaimanapun juga
kebudayaan merupakan ciri khas dari masyarakat yang tinggal di daerah tersebut,
apabila mereka tidak memiliki kebudayaan atau telah meninggalkannya “dengan
sengaja” maka ia tidak memiliki karakter dan mudah terombang-ambing oleh
kebudayaan lain
BAB II
PEMBAHASAN
Jawa Tengah merupakan sebuah
provinsi yang terletak di tenga pulau Jawa. Provinsi
ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa
Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas
wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa
Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa Barat), sertaKepulauan Karimun
Jawa di Laut Jawa. Pengertian Jawa
Tengah secara geografis dan
budaya kadang juga mencakup wilayahDaerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai "jantung" budaya Jawa. Meskipun demikian di provinsi ini ada pula suku
bangsa lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan suku Jawa seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat. Selain ada pula warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang tersebar di
seluruh provinsi ini.
Sejarah Jawa Tengah
Jawa Tengah sebagai provinsi dibentuk sejak zaman Hindia
Belanda. Hingga tahun 1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni
Semarang, Rembang, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Surakarta masih merupakan
daerah swapraja kerajaan (vorstenland) yang berdiri sendiri dan terdiri dari
dua wilayah, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, sebagaimana Yogyakarta.
Masing-masing gewest terdiri atas kabupaten-kabupaten. Waktu itu Rembang Gewest
juga meliputi Regentschap Tuban dan Bojonegoro.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi otonomi dan dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang.
Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas beberapa karesidenan (residentie), yang meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan dibagi lagi dalam beberapa kawedanan (district). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan, Jepara-Rembang, Semarang, Banyumas, dan Kedu.
Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 Pemerintah membentuk daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan karesidenan. Pada tahun 1950 melalui Undang-undang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kotamadya. Penetapan Undang-undang tersebut hingga kini diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus 1950.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi otonomi dan dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang.
Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas beberapa karesidenan (residentie), yang meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan dibagi lagi dalam beberapa kawedanan (district). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan, Jepara-Rembang, Semarang, Banyumas, dan Kedu.
Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 Pemerintah membentuk daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan karesidenan. Pada tahun 1950 melalui Undang-undang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kotamadya. Penetapan Undang-undang tersebut hingga kini diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus 1950.
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu sosok kebudayaan yang
tua. Kebudayaan Jawa mengakar di Jawa Tengah bermula dari kebudayaan nenek
moyang yang bermukim di tepian Sungai Bengawan Solo pada ribuan tahun sebelum
Masehi. Fosil manusia Jawa purba yang kini menghuni Museum Sangiran di
Kabupaten Sragen, merupakan saksi sejarah, betapa tuanya bumi Jawa Tengah
sebagai kawasan pemukiman yang dengan sendirinya merupakan suatu kawasan
budaya. Dari kebudayaan purba itulah kemudian tumbuh dan berkembang sosok
kebudayaan Jawa klasik yang hingga kini terus bergerak menuju kebudayaan
Indonesia.
Kata
klasik ini berasal dari kata Clacius, yaitu nama orang yang telah berhasil
menciptakan karya sastra yang mempunyai “nilai tinggi”. Maka karya sastra yang
tinggi nilainya hasil karya Clacius itu dinamakan “Clacici”. Padahal Clacici
adalah golongan ningrat/bangsawan, sedangkan Clacius termasuk golongan ningrat,
oleh karena itu hasil karya seni yang mempunyai nilai tinggi disebut “seni
klasik”.
Bengawan Solo bukan hanya terkenal dengan lagu ciptaan Gesang akan tetapi lebih daripada itu lembahnya terkenal sebagai tempat dimana banyak sekali diketemukan fosil dan peninggalan awal sejarah kehidupan di atas bumi ini.
Pada tahun 1891 Eugene Dubois menemukan sisa-sisa manusia purba yang diberi nama “Phitecanthropus Erectus” di daerah Trinil, Ngawi Karesidenan Madiun. Ternyata fosil-fosil itu lebih purba (tua) dan lebih primitif daripada fosil-fosil Neanderthal yang ditemukan di Eropa sebelumnya. Penggalian-penggalian diteruskan hingga pada sekitar tahun 1930-1931 ditemukan lagi fosil manusia di Ngandong dan di Kedungbrubus daerah Sangiran. Fosil ini lebih tua dari yang ditemukan di Jerman maupun di Peking. Berbeda dengan penemuan di bagian dunia lain, penemuan fosil-fosil pulau Jawa didapat pada semua lapisan Pleistoceen dan tidak hanya pada satu lapisan saja. Hingga nampak jelas perkembangan manusia sejak dari bentuk ‘keorangan’nya yang mula-mula (homonide), sedang dari bagian lain di dunia penemuan-penemuan itu tidak memberi gambaran yang sedemikian lengkap. Manusia purba itu diperkirakan hidup dalam kelompok-kelompok kecil bahkan mungkin dalam keluarga-keluarga yang terdiri dari enam shingga duabelas individu. Mereka hidup berburu binatang di sepanjang lembah-lembah sungai. Cara hidup seperti ini agaknya tetap berlangsung selama satu juta tahun. Kemudian diketemukan sisa-sisa artefak yang terdiri dari alat-alat kapak batu di sebuah situs di dekat desa Pacitan, dalam lapisan bumi yang berdasarkan data geologi diperkirakan berumur 800.00 tahun dan diasosiasikan dengan fosil Pithecanthropus yang telah berevolusi lebih jauh. Dengan demikian diperkirakan bahwa sejak paling sedikit 800.000 tahun yang lalu para pemburu di pulau Jawa sudah memiliki suatu kebudayaan.
Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang erat sekali. Kedua-duanya tidak mungkin dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, yaitu manusia. Akan tetapi manusia itu hidupnya tidak berapa lama, ia lalu mati. Maka untuk melangsungkan kebudayaan, pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih dari satu turunan. Jadi harus diteruskan kepada anak cucu keturunan selanjutnya.
Kebudayaan Jawa klasik yang keagungannya diakui oleh dunia internasional dapat dilihat pada sejumlah warisan sejarah yang berupa candi, stupa, bahasa, sastra, kesenian dan adat istiadat. Candi Borobudur di dekat Magelang, candi Mendut, candi Pawon, Candi Prambanan di dekat Klaten, candi Dieng, candi Gedongsongo dan candi Sukuh merupakan warisan kebudayaan masa silam yang tak ternilai harganya. Teks-teks sastra yang terpahat di batu-batu prasasti, tergores di daun lontar dan tertulis di kitab-kitab merupakan khasanah sastra Jawa klasik yang hingga kini tidak habis-habisnya dikaji para ilmuwan. Ada pula warisan kebudayaan yang bermutu tinggi dalam wujud seni tari, seni musik, seni rupa, seni pedalangan,seni bangunan (arsitektur), seni busana, adat istiadat, dsbnya.
Masyarakat Jawa Tengah sebagai ahli waris kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau sewarna, melainkan sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman budaya. Hal itu tercermin pada tumbuhnya wilayah-wilayah budaya yang pada pokoknya terdiri atas wilayah budaya Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan wilayah budaya Pesisiran.
Wilayah budaya Negarigung yang mencakup daerah Surakarta – Yogyakarta dan sekitarnya merupakan wilayah budaya yang bergayutan dengan tradisikraton(Surakarta dan Yogyakarta). Wilayah budaya Banyumasan menjangkau daerah Banyumas, Kedu dan Bagelen. Sedangkan wilayah budaya pesisiran meliputi daerah Pantai Utara Jawa Tengah yang memanjang dari Timur ke Barat.
Keragaman budaya tersebut merupakan kondisi dasar yang menguntungkan bagi mekarnya kreatifitas cipta, ras dan karsa yang terwujud pada sikap budaya.
Di daerah Jawa Tengah segala macam bidang seni tumbuh dan berkembang dengan baik, dan hal ini dapat kita saksikan pada peninggalan-peninggalan yang ada sekarang.
Provinsi Jawa Tengah yang merupakan satu dari sepuluh DTW (Daerah Tujuan Wisata) di Indonesia dapat dengan mudah dijangkau dari segala penjuru, baik darat, laut maupun udara. Provinsi ini telah melewati sejarah yang panjang, dari jaman purba hingga sekarang.
Dalam usaha memperkenalkan daerah Jawa Tengah yang kaya budaya dan potensi alamnya, Provinsi Jawa Tengah sebagaimana provinsi-provinsi lain di Indonesia, mempunyai anjungan daerah di Taman Mini “Indonesia Indah” yang juga disebut “Anjungan Jawa Tengah”. Anjungan Jawa Tengah Taman Mini “Indonesia Indah” merupakan “show window” dari daerah Jawa Tengah.
Anjungan Jawa Tengah di Taman Mini “Indonesia Indah” dibangun untuk membawakan wajah budaya dan pembangunan Jawa Tengah pada umunya. Bangunan induk beserta bangunan lain di seputarnya secara keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan “Padepokan Jawa Tengah”, yang berarsitektur Jawa asli.
Bangunan induknya berupa “Pendopo Agung”, tiruan dari Pendopo Agung Istana Mangkunegaran di Surakarta, yang diakui sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Propinsi Jawa Tengah juga terkenal dengan sebutan “The Island of Temples”, karena memang di Jawa Tengah bertebaran candi-candi. Miniatur dari candi Borobudur, Prambanan dan Mendut ditampilkan pula di Padepokan Jawa Tengah. Padepokan Jawa Tengah juga merupakan tempat untuk mengenal seni bangunan Jawa yang tidak hanya berupa bangunan rumah tempat tinggal tetapi juga seni bangunan peninggalan dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça.
Pendopo Agung yang berbentuk ”Joglo Trajumas” itu berkesan anggun karena atapnya yang luas dengan ditopang 4 (empat) Soko guru (tiang pokok), 12 (dua belas) Soko Goco dan 20 (dua puluh) Soko Rowo. Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan momot, artinya berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menerima tamu. Bangunan Pendopo Agung ini masih dihubungkan dengan ruang Pringgitan, yang aslinya sebagai tempat pertunjukan ringgit atau wayang kulit. Pringgitan ini berarsitektur Limas. Bangunan lain adalah bentuk-bentuk rumah adat “Joglo Tajuk Mangkurat”, “Joglo Pangrawit Apitan” dan rumah bercorak “Doro Gepak”.
Sesuai dengan fungsinya Anjungan Jawa Tengah selalu mempergelarkan kesenia-kesenian daerah yang secara tetap didatangkan dari Kabupaten-kabupaten / Kotamadya di Provinsi Jawa Tengah di samping pergelaran kesenian dari sanggar-sanggar yang ada di Ibukota, dengan tidak meninggalkan keadiluhungan nilai-nilai budaya Jawa yang hingga kini masih tampak mewarnai berbagai aspek seni budaya itu sendiri, adat-istiadat dan tata cara kehidupan masyarakat Jawa Tengah.
Bangunan Joglo Pangrawit Apitan di Anjungan Jawa Tengah TMII terletak bersebelahan dengan sebuah panggung terbuka yang berlatar belakang sebuah bukit dengan bangunan Makara terbuat dari batu cadas hitam bertuliskan kata-kata “Ojo Dumeh” dalam huruf Jawa berukuran besar. Perkataan Ojo Dumeh mempunyai makna yang dalam, sebab artinya, “Jangan Sombong”, sebuah anjuran untuk senantiasa mampu mengendalikan diri, justru di saat seseorang merasa mempunyai keberhasilan. Di panggung inilah pengunjung dapat menyaksikan pergelaran acara khusus Anjungan yang biasanya merupakan acara-acara pilihan.
Bengawan Solo bukan hanya terkenal dengan lagu ciptaan Gesang akan tetapi lebih daripada itu lembahnya terkenal sebagai tempat dimana banyak sekali diketemukan fosil dan peninggalan awal sejarah kehidupan di atas bumi ini.
Pada tahun 1891 Eugene Dubois menemukan sisa-sisa manusia purba yang diberi nama “Phitecanthropus Erectus” di daerah Trinil, Ngawi Karesidenan Madiun. Ternyata fosil-fosil itu lebih purba (tua) dan lebih primitif daripada fosil-fosil Neanderthal yang ditemukan di Eropa sebelumnya. Penggalian-penggalian diteruskan hingga pada sekitar tahun 1930-1931 ditemukan lagi fosil manusia di Ngandong dan di Kedungbrubus daerah Sangiran. Fosil ini lebih tua dari yang ditemukan di Jerman maupun di Peking. Berbeda dengan penemuan di bagian dunia lain, penemuan fosil-fosil pulau Jawa didapat pada semua lapisan Pleistoceen dan tidak hanya pada satu lapisan saja. Hingga nampak jelas perkembangan manusia sejak dari bentuk ‘keorangan’nya yang mula-mula (homonide), sedang dari bagian lain di dunia penemuan-penemuan itu tidak memberi gambaran yang sedemikian lengkap. Manusia purba itu diperkirakan hidup dalam kelompok-kelompok kecil bahkan mungkin dalam keluarga-keluarga yang terdiri dari enam shingga duabelas individu. Mereka hidup berburu binatang di sepanjang lembah-lembah sungai. Cara hidup seperti ini agaknya tetap berlangsung selama satu juta tahun. Kemudian diketemukan sisa-sisa artefak yang terdiri dari alat-alat kapak batu di sebuah situs di dekat desa Pacitan, dalam lapisan bumi yang berdasarkan data geologi diperkirakan berumur 800.00 tahun dan diasosiasikan dengan fosil Pithecanthropus yang telah berevolusi lebih jauh. Dengan demikian diperkirakan bahwa sejak paling sedikit 800.000 tahun yang lalu para pemburu di pulau Jawa sudah memiliki suatu kebudayaan.
Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang erat sekali. Kedua-duanya tidak mungkin dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, yaitu manusia. Akan tetapi manusia itu hidupnya tidak berapa lama, ia lalu mati. Maka untuk melangsungkan kebudayaan, pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih dari satu turunan. Jadi harus diteruskan kepada anak cucu keturunan selanjutnya.
Kebudayaan Jawa klasik yang keagungannya diakui oleh dunia internasional dapat dilihat pada sejumlah warisan sejarah yang berupa candi, stupa, bahasa, sastra, kesenian dan adat istiadat. Candi Borobudur di dekat Magelang, candi Mendut, candi Pawon, Candi Prambanan di dekat Klaten, candi Dieng, candi Gedongsongo dan candi Sukuh merupakan warisan kebudayaan masa silam yang tak ternilai harganya. Teks-teks sastra yang terpahat di batu-batu prasasti, tergores di daun lontar dan tertulis di kitab-kitab merupakan khasanah sastra Jawa klasik yang hingga kini tidak habis-habisnya dikaji para ilmuwan. Ada pula warisan kebudayaan yang bermutu tinggi dalam wujud seni tari, seni musik, seni rupa, seni pedalangan,seni bangunan (arsitektur), seni busana, adat istiadat, dsbnya.
Masyarakat Jawa Tengah sebagai ahli waris kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau sewarna, melainkan sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman budaya. Hal itu tercermin pada tumbuhnya wilayah-wilayah budaya yang pada pokoknya terdiri atas wilayah budaya Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan wilayah budaya Pesisiran.
Wilayah budaya Negarigung yang mencakup daerah Surakarta – Yogyakarta dan sekitarnya merupakan wilayah budaya yang bergayutan dengan tradisikraton(Surakarta dan Yogyakarta). Wilayah budaya Banyumasan menjangkau daerah Banyumas, Kedu dan Bagelen. Sedangkan wilayah budaya pesisiran meliputi daerah Pantai Utara Jawa Tengah yang memanjang dari Timur ke Barat.
Keragaman budaya tersebut merupakan kondisi dasar yang menguntungkan bagi mekarnya kreatifitas cipta, ras dan karsa yang terwujud pada sikap budaya.
Di daerah Jawa Tengah segala macam bidang seni tumbuh dan berkembang dengan baik, dan hal ini dapat kita saksikan pada peninggalan-peninggalan yang ada sekarang.
Provinsi Jawa Tengah yang merupakan satu dari sepuluh DTW (Daerah Tujuan Wisata) di Indonesia dapat dengan mudah dijangkau dari segala penjuru, baik darat, laut maupun udara. Provinsi ini telah melewati sejarah yang panjang, dari jaman purba hingga sekarang.
Dalam usaha memperkenalkan daerah Jawa Tengah yang kaya budaya dan potensi alamnya, Provinsi Jawa Tengah sebagaimana provinsi-provinsi lain di Indonesia, mempunyai anjungan daerah di Taman Mini “Indonesia Indah” yang juga disebut “Anjungan Jawa Tengah”. Anjungan Jawa Tengah Taman Mini “Indonesia Indah” merupakan “show window” dari daerah Jawa Tengah.
Anjungan Jawa Tengah di Taman Mini “Indonesia Indah” dibangun untuk membawakan wajah budaya dan pembangunan Jawa Tengah pada umunya. Bangunan induk beserta bangunan lain di seputarnya secara keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan “Padepokan Jawa Tengah”, yang berarsitektur Jawa asli.
Bangunan induknya berupa “Pendopo Agung”, tiruan dari Pendopo Agung Istana Mangkunegaran di Surakarta, yang diakui sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Propinsi Jawa Tengah juga terkenal dengan sebutan “The Island of Temples”, karena memang di Jawa Tengah bertebaran candi-candi. Miniatur dari candi Borobudur, Prambanan dan Mendut ditampilkan pula di Padepokan Jawa Tengah. Padepokan Jawa Tengah juga merupakan tempat untuk mengenal seni bangunan Jawa yang tidak hanya berupa bangunan rumah tempat tinggal tetapi juga seni bangunan peninggalan dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça.
Pendopo Agung yang berbentuk ”Joglo Trajumas” itu berkesan anggun karena atapnya yang luas dengan ditopang 4 (empat) Soko guru (tiang pokok), 12 (dua belas) Soko Goco dan 20 (dua puluh) Soko Rowo. Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan momot, artinya berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menerima tamu. Bangunan Pendopo Agung ini masih dihubungkan dengan ruang Pringgitan, yang aslinya sebagai tempat pertunjukan ringgit atau wayang kulit. Pringgitan ini berarsitektur Limas. Bangunan lain adalah bentuk-bentuk rumah adat “Joglo Tajuk Mangkurat”, “Joglo Pangrawit Apitan” dan rumah bercorak “Doro Gepak”.
Sesuai dengan fungsinya Anjungan Jawa Tengah selalu mempergelarkan kesenia-kesenian daerah yang secara tetap didatangkan dari Kabupaten-kabupaten / Kotamadya di Provinsi Jawa Tengah di samping pergelaran kesenian dari sanggar-sanggar yang ada di Ibukota, dengan tidak meninggalkan keadiluhungan nilai-nilai budaya Jawa yang hingga kini masih tampak mewarnai berbagai aspek seni budaya itu sendiri, adat-istiadat dan tata cara kehidupan masyarakat Jawa Tengah.
Bangunan Joglo Pangrawit Apitan di Anjungan Jawa Tengah TMII terletak bersebelahan dengan sebuah panggung terbuka yang berlatar belakang sebuah bukit dengan bangunan Makara terbuat dari batu cadas hitam bertuliskan kata-kata “Ojo Dumeh” dalam huruf Jawa berukuran besar. Perkataan Ojo Dumeh mempunyai makna yang dalam, sebab artinya, “Jangan Sombong”, sebuah anjuran untuk senantiasa mampu mengendalikan diri, justru di saat seseorang merasa mempunyai keberhasilan. Di panggung inilah pengunjung dapat menyaksikan pergelaran acara khusus Anjungan yang biasanya merupakan acara-acara pilihan.
Kependudukan
Berdasarkan angka sementara Proyeksi Sensus Penduduk (SP)
Jawa Tengah pada tahun 2011 tercacat sebesar 32,64 juta jiwa atau sekitar 13,54
persen dari jumlah penduduk Indonesia. Ini menempatkan Jawa Tengah sebagai
provinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa
Barat dan Jawa Timur. Jumlah penduduk perempuan lebih besar dibanding dengan
jumlah penduduk laki-laki. Ini ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin (rasio
jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan) sebesar 99,42.
Penduduk Jawa Tengah ternyata belum
tersebar secara merata di seluruh Jawa Tengah. Umumnya penduduk banyak menumpuk
di daerah kota dibandingkan daerah kabupaten. Secara rata-rata kepadatan
penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 1.003 jiwa setiap kilometer persegi, dan
wilayah terpadat adalah kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar 11 ribu
orang setiap kilometer persegi.
Jumlah rumah tangga sebesar 8,9 juta
pada tahun 2011 sedangkan rata-rata penduduk per rumah tangga di Jawa Tengah
tercatat sebesar 3,7 jiwa.
Seni Budaya
1. Gamelan Jawa
Gamelan Jawa
merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang, guna mendorong kecintaan
pada kehidupan Transedental (Alam Malakut)”Tombo Ati” adalah salah satu karya
Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih dinyanyikan dengan nilai
ajaran Islam, juga pada pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat Pernikahan dan
acara ritual budaya Keraton.
2.
Keris Jawa
Keris dikalangan
masyarakat di jawa dilambangkan sebagai symbol “ Kejantanan “ dan terkadang
apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara
temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.
Di kalender masyarakat jawa mengirabkan pusaka unggulan keraton merupakan
kepercayaan terbesar pada hari satu sura. Keris pusaka atau tombak pusaka
merupakan unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsure besi
baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsure batu meteorid yang jatuh dari
angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan
doa kepada sang maha pencipta alam ( Allah SWT ) dengan duatu apaya spiritual
oleh sang empu. Sehingga kekuatan spiritual sang maha pencipta alam itu pun
dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat
mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu.
3.
KesenianTarian Jawa
Tarian merupakan
bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini.Ternyata pada masa kerajaan
dulu tari mencapai tingkat estetis yang tinggi. Jika dalam
lingkungan rakyat tarian bersifat spontan dan sederhana, maka dalam lingkungan
istana tarian mempunyai standar, rumit, halus, dan simbolis. Jika ditinjau dari
aspek gerak, maka pengaruh tari India yang terdapat pada
tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan, dan di Bali ditambah
dengan gerak mata.
Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan pusaka raja Jawa. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan berlatarbelakang mitos percintaan antara raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra Indonesia) (Soedarsono, 1990). Tarian ini ditampilkan oleh sembilan penari wanita.
Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan pusaka raja Jawa. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan berlatarbelakang mitos percintaan antara raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra Indonesia) (Soedarsono, 1990). Tarian ini ditampilkan oleh sembilan penari wanita.
4.
Kesenian Wayang
1)
Wayang Kulit Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum
kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang
Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animism dan dynamisme. Menurut Kitab
Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang,
mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/Kediri.
Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh
leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru
dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera
Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa
Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau
titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah
Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
2)
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Kulit Gagrag
Banyumasan adalah jenis pertunjukan wayang kulit yang bernafas Banyumas.
Lakon-lakon yang disajikan dalam pementasan tidak berbeda wayang kulit purwo,
yaitu bersumber dari kitab Mahabarata dan Ramayana. Spesifikasi wayang kulit
gagrag Banyumasan adalah terletak pada tehnik pembawaannya yang sangat
dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat setempat yang memilik pola
kehidupan tradisional agraris.
3)
Wayang Bocah
Berbagai macam
pertunjukan kesenian yang anda lihat di Solo belum lengkap rasanya sebelum
melihat bertunjukan wayang bocah biasanya pernain wayang adalah orang dewasa
namun seperti namanya, wayang ini dimainkan anak anak atau dalam bahasa jawa
disebut bocah. Meskipun demikian kepiawaian mereka bermain tak kalah dengan
wayang orang yang dimainkan orang dewasa. Bahkan selain melihat pertunjukannya.
, juga dapat melihat latihannya dengan mengunjungi sanggar tari Wayang Bocah
Suryo Sumirat di Mangkunegaran atau Meta Budaya di Kampung Baluwarti.
4)
Wayang Orang Sriwedari
Wayang Orang
berkembang sejak abad XVIII. Diilhami dari drama yang telah berkembang di Eropa,
KGPAA Mangkunegoro I di Surakarta menciptakan Wayang Orang, bnamuiuntidak
berkembang lama. pada saat Paku Buwono X membangun Sriwedari sebagai taman
hiburan untuk umum dan diresmikan pada tahun 1899, diadakan pertunjukan Wayang
Orang yang kemudian hidup sampai sekarang. Wayang Orang Sriwedari telah berjasa
besar ikut serta melestarikan kebudayaan bangsa,yaitu seni wayang orang, seni
tari, seni busana, seni suara serta seni karawitan.
5)
Wayang Golek Menak
Dijaman penyiaran
agama Islam masuk ke wilayah Pulau Jawa khususnya diwilayah Pantura Pulau Jawa
mengalami hambatan ‑terutama diwilayah Kota Pemalang sebagian masyarakat banyak
yang menganut agama Hindu. Karena daerah Pemalang merupakan tanah perdikan dari
Kerajaan Majapahit.
Untuk dapat mempengaruhi ajaran‑ajaran Islam para sunan wali dan ulama syiar dengan menggunakan wayang sebagai medianya. Di Kabupaten Pemalang ada beberapa jenis wayang yang tumbuh dan subur diantaranya : wayang kulit, wayang kemprah, wayang tutur, wayang golek cepak, wayang golek badong, wayang golek menak.
Untuk dapat mempengaruhi ajaran‑ajaran Islam para sunan wali dan ulama syiar dengan menggunakan wayang sebagai medianya. Di Kabupaten Pemalang ada beberapa jenis wayang yang tumbuh dan subur diantaranya : wayang kulit, wayang kemprah, wayang tutur, wayang golek cepak, wayang golek badong, wayang golek menak.
Diantara wayang yang
kami sebutkan di atas wayang kulit dan wayang golek menak yang mendapat hati di
masyarakat. Untuk itu, kami mengangkat wayang golek menak sebagai kesenian
unggulan. Bentuk wayang tak ubahnya dengan wayang golek di daerah kami, terbuat
dari kayu, dengan wajah tiga dimensi yang menggambarkan tokoh ‑ tokoh pada masa
dahulu yang bersumber dari tokoh legenda dan tokoh islam.
Cerita mengambil dari
dua sumber, bisa menceritakan ajaran ‑ ajaran Islam dan cerita ‑cerita daerah
setempat , tinggal menurut apa keinginan masyarakat atau kehendak yang punya
hajat ataupun panitia.
Ke Khasan Wayang
Golek MenakCerita daerah setempat dengan cerita yang tidak dimiliki daerah
lain.Gending. Gending iringan adaiah gending cengkok khusus daerah setempat
Pernalangan Yang tidak di ajarkan di pawiyatan seperti iringan wayang kulit
misainya.Sastra dan Sabet. Sastra kadang muncul dengan khas wayang golek menak
serta sabet atau gerak Wayang golek
1.
Produk Khas
1)
Batik (Batik of Central Java) Salah satu jenis produk sandang yang
berkembang pesat di Jawa tengah sejak beberapa dekade, bahkan beberapa abad
yang lalu, adalah kerajinan batik. Sebagian besar masyarakat Indonesia telah
mengenal batik baik dalam coraknya yang tradisional maupun yang modern. Pada
umumnya batik digunakan untuk kain jarik, kemeja, sprey, taplak meja, dan
busana wanita. Mengingat bahwa jenis produk ini amat dipengaruhi oleh selera
konsumen dan perubahan waktu maupun model, maka perkembangan industri batik di
Jawa Tengah juga mengalami perkembangan yang cepat baik menyangkut rancangan,
penampilan, corak dan kegunaannya, disesuaikan dengan permintaan dan kebutuhan
pasar baik dalam maupun luar negeri. Tradisonal secara historis berasal dari
zaman nenek moyang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun
lontar. Saat itu motif batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan
tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik di Jawa Tengah mengalami
perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun
beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan
sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi
pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini. Corak
batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai
dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah
budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai
corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri. Sentra
produksi batik di Jawa Tengah banyak dijumpai di Kabupaten Pekalongan,Kota Pekalongan, Kota
Surakarta, dan Kabupaten Sragen.
Dari sisi permintaan dan keunikan produk, peluang usaha di bidang industri
batik masih terbuka luas dan sangat menguntungkan. Pemasaran batik selain untuk
konsumsi lokal juga telah menembus pasar Eropa dan Amerika.
2)
Mebel Ukir
Salah satu produk
kayu olahan yang pertumbuhannya amat pesat dalam beberapa dekade terakhir ini
adalah produk mebel dan furniture. Berawal dari pekerjaan rumah tangga, produk mebel
kini telah menjadi industri yang cukup besar dengan tingkat penyerapan tenaga
kerja terdidik yang tidak sedikit. Produk jenis ini secara prinsip dibagi dalam
dua kategori yaitu mebel untuk taman (garden) dan interior dalam rumah
(indoor).
Mebel dari Jawa
Tengah ( furniture from Central Java )sudah terkenal sejak lama baik karena
kualitas, seni maupun harganya yang kompetitif. Banyak konsumen baik dalam
maupun luar negeri yang memesan furniture antik, yang walaupun dibuat baru,
namun diproses seolah-olah merupakan produk kuno (antik). Ada pula produk
furniture yang dibuat dari bonggol (tonggak) pohon yang dengan
sentuhan-sentuhan seni berubah menjadi produk furniture yang sangat menarik dan
memiliki nilai jual tinggi. Sedangkan corak dan gaya fungsional dan modern juga
berkembang pesat bersamaan meningkatnya permintaan untuk kebutuhan perkantoran
dan hotel yang pembangunannya tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir ini,
baik di dalam maupun luar negeri.
Produk furniture,
khususnya ukiran dikembangkan oleh para pengrajin Jawa Tengah berdasarkan
keterampilan mengukir yang diwariskan oleh para leluhurnya. Disamping itu, di
Kota Semarang terdapat sekolah kejuruan yang mengkhususkan diri di bidang
design dan teknik perkayuan (PIKA) yang menghasilkan lulusan yang memiliki
keahlian tinggi. Para luklusan PIKA tersebut telah ikut menjadi tulang punggung
industri permebelan di Jawa Tengah hingga mampu menghasilkan produk berkualitas
dan memiliki daya saing tinggi yang tidak kalah dengan produk luar negeri.
Produksi mebel Jawa
Tengah berkembang dan tumbuh pesat seiring dengan permintaan yang meningkat
dari dalam maupun luar negeri, baik desain, konstruksi, corak maupun
pewarnaannya. Sebagian bahannya terbuat dari kayu, dan saat ini makin
bervariasi karena bahan bakunya tidak lagi semata-mata kayu jati tetapi juga
mulai banyak menggunakan kayu mahoni dan jenis lainnya, serta bahan logam.
Sentra-sentra
produksi mebel di Jawa Tengah tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Rembang,Kabupaten Blora, Batang, Sragen. Investasi di produk
ini masih terbuka dengan persaingan yang cukup ketat.
Tradisi Upacara Adat
A. Upacara adat Tingkepan atau Mintoni sendiri merupakan sebuah upacara adat yang
dilaksanakan untuk memperingati kehamilan pertama ketika kandungan sang ibu
hamil tersebut memasuki bulan ke tiga, lima dan puncaknya ke tujuh bulan.
Adapun maksud dan tujuan dari digelarnya upacara adat ini adalah
untuk mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandungnya, agar selalu sehat
segar bugar dalam menanti kelahirannya yang akan datang.
Kronologi singkat dari upacara tingkepan ini sendiri
adalah menggelar selametan pada bulan ketiga, lima dan kemudian puncaknya
adalah pada bulan ke tujuh sang ibu hamil pun menggelar sebuah
prosesi upacara berupa memandikan atau mensucikan calon ibu berserta
bayi yang di kandung, agar kelak segar bugar dan selamat dalam menghadapi kelahirannya.
1. Pertama-tama sang calon ayah dan calon ibu yang akan
melakukan upacara Tingkepan duduk untuk menemui tamu undangan yang hadir untuk
menyaksikan upacara Tingkepan ini di ruang tamu atau ruang lain yang
cukup luas untuk menampung para undangan yang hadir. Setelah semua undangan
hadir maka barulah kemudian sang calon ibu dan ayah inipun di bawa keluar untuk
melakukan ritual pembuka dari acara tingkepan itu sendiri yakni sungkeman.
Sungkeman adalah sebuah prosesi meminta maaf dan meminta restu dengan cara
mencium tangan sambil berlutut. Kedua calon ayah dan calon ibu dengan diapit
oleh kerabat dekat diantarkan sungkem kepada eyang, bapak dan ibu dari pihak
pria, kepada bapak dan ibu dari pihak puteri untuk memohon doa restu. Baru
kemudian bersalaman dengan para tamu lainnya.
2. Setelah acara sungkeman selesai barulah kemudian
digelar upacara inti yakni memandikan si calon ibu setelah sebelumnya peralatan
upacara tersebut telah dipersiapkan. Alat-alat dan bahan dalam upacara
memandikan ini sendiri adalah antara lain bak mandi yang dihias dengan janur
sedemikian rupa hingga kelihatan semarak, alas duduk yang terdiri dari
klosobongko, daun lima macam antara lain, daun kluwih, daun alang-alang, daun
opo-opo, daun dadapserat dan daun nanas. Jajan pasar yang terdiri dari pisang
raja, makanan kecil, polo wijo dan polo kependem, tumpeng rombyong yang terdiri
dari nasi putih dengan lauk pauknya dan sayuran mentah. Baki berisi busana
untuk ganti, antara lain kain sidoluhur; bahan kurasi; kain lurik yuyu
sukandang dan morikputih satu potong; bunga telon yang terdiri dari mawar,
melati dan kenanga; cengkir gading dan parang serta beberapa kain dan handuk.
3. Setelah semua bahan lengkap tersedia maka barulah
kemudian si calon ibu pun di mandikan. Pertama-tama yang mendapat giliran
memandikan biasanya adalah nenek dari pihak pria, nenek dari pihak wanita, dan
kemudian barulah secara bergiliran ibu dari pihak pria, ibu dari pihak wanita,
para penisepuh yang seluruhnya berjumlah tujuh orang dan kesemuanya dilakukan
oleh ibu-ibu. Disamping memandikan, para nenek dan ibu-ibu ini pun diharuskan
untuk memberikan doa dan restunya agar kelak calon bayi yang akan dilahirkan
dimudahkan keluarnya, memiliki organ tubuh yang sempurna (tidak cacat), dan
sebagainya.
4. Sementara itu, ketika calon ibu dimandikan maka yang
dilakukan oleh calon ayah berbeda lagi yakni mempersiapkan diri untuk memecah
cengkir (kelapa muda) dengan parang yang telah diberi berbagai hiasan dari
janur kelapa. Proses memecah cengkir ini sendiri hanya sekali ayun dan harus langsung
terbelah menjadi dua bagian. Maksud dari hanya sekali ayun dan harus langsung
terbelah ini sendiri adalah agar kelak ketika istrinya melahirkan sang anak
tidak mengalami terlalu banyak kesulitan. Setelah semua upacara itu terlewati,
langkah selanjutnya adalah sang calon ayah dan calon ibu yang telah melakukan
upacara tersebut pun diiring untuk kembali masuk kamar dan mengganti pakaian
untuk kemudian bersiap melakukan upacara selanjutnya yakni memotong
janur. Prosesi memotong janur ini sendiri adalah pertama-tama janur yang telah
diambil lidinya itu dilingkarkan ke pinggang si calon ibu untuk kemudian
dipotong oleh si calon ayah dengan menggunakan keris yang telah dimantrai.
Proses memotong ini sama seperti halnya ketika memecah cengkir, sang calon ayah
harus memotong putus pada kesempatan pertama.
1. Setelah selesainya upacara memotong janur ini pun
kemudian dilanjutkan dengan upacara berikutnya yakni upacara brojolon atau
pelepasan. Upacara brojolan ini sendiri adalah sebuah upacara yang dilakukan
oleh calon ibu sebagai semacam simulasi kelahiran. Dalamupacara ini pada
kain yang dipakai oleh calon ibu dimasukkan cengkir gading yang bergambar tokoh
pewayangan yakni Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih. Tugas memasukkan cengkir
dilakukan oleh ibu dari pihak wanita dan ibu dari pihak pria bertugas untuk
menangkap cengkir tersebut di bawah (antara kaki calon ibu). Ketika cengkir itu
berhasil ditangkap maka sang ibu itu pun harus berucap yang jika dibahasa
Indonesiakan berbunyi, “Pria ataupun wanita tak masalah. Kalau pria, hendaknya
tampan seperti Batara Kamajaya dan kalau putri haruslah cantik layaknya Batari
Kamaratih.” Kemudian seperti halnya bayi sungguhan, cengkir yang tadi ditangkap
oleh ibu dari pihak pria ini pun di bawa ke kamar untuk ditidurkan di kasur.
2. Langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh calon ibu
ini pun harus memakai tujuh perangkat pakaian yang sebelumnya telah disiapkan.
Kain-kain tersebut adalah kain khusus dengan motif tertentu yaitu kain
wahyutumurun, kain sidomulyo, kain sidoasih, kain sidoluhur, kain satriowibowo,
kain sidodrajat, kain tumbarpecah dan kemben liwatan. Pertama, calon ibu
mengenakan kain wahyutumurun, yang maksudnya agar mendapatkan wahyu atau rido
yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Kedua, calon ibu mengenakan kain
sidomulyo, yang maksudnya agar kelak hidupnya mendapatkan kemuliaan. Ketiga,
calon ibu mengenakan kain sidoasih, maksudnya agar kelak mendapatkan kasih
sayang orang tua, maupun sanak saudara. Keempat, calon ibu mengenakan busana
kain sidoluhur, maksud yang terkandung di dalamnya agar kelak dapat menjadi
orang yang berbudi luhur. Kelima, calon ibu mengenakan kain satriowibowo,
maksudnya agar kelak dapat menjadi satria yang berwibawa. Keenam, calon ibu
mengenakan busana kain sidodrajat, terkandung maksud agar kelak bayi yang akan
lahir memperoleh pangkat dan derajat yang baik. Ketujuh, calon ibu mengenakan
busana kain tumbarpecah dan kemben liwatan yang dimaksudkan agar besok kalau
melahirkan depat cepat dan mudah seperti pecahnya ketumbar, sedangkan kemben
liwatan diartikan agar kelak dapat menahan rasa sakit pada waktu melahirkan dan
segala kerisauan dapat dilalui dengan selamat. Sambil mengenakan kain-kain itu,
ibu-ibu yang bertugas merakit busana bercekap-cakap dengan tamu-tamu lainnya
tentang pantas dan tidaknya kain yang dikenakan oleh calon ibu. Kain-kain yang
telah dipakai itu tentu saja berserakan dilantai dan karena proses
pergantiannya hanya dipelorotkan saja maka kain-kain tersebutpun bertumpuk
dengan posisi melingkar layaknya sarang ayam ketika bertelur. Dengan tanpa
dirapikan terlebih dahulu kain-kain tersebut kemudian dibawa ke kamar.
3. Prosesi selanjutnya sekaligus sebagai penutup dari
rangkaian prosesi upacara tersebut adalah calon ayah dengan menggunakan busana
kain sidomukti, beskap, sabuk bangun tulap dan belankon warna bangun tulip, dan
calon ibu dengan mengenakan kain sidomukti kebaya hijau dan kemben banguntulap
keluar menuju ruang tengahdimana para tamu berkumpul. Di sini sebagai
acara penutup sebelum makan bersama para tamu, terlebih dahulu dilakukan
pembacaan doa dengan dipimpin oleh sesepuh untuk kemudian ayah dari pihak pria
pun memotong tumpeng untuk diberikan kepada calon bapak dan calon ibu untuk
dimakan bersama-sama. Tujuan dari makan timpeng bersama ini sendiri adalah agar
kelak anak yang akan lahir dapat rukun pula seperti orang tuanya. Pada waktu
makan ditambah lauk burung kepodang dan ikan lele yang sudah digoreng.
Maksudnya agar kelak anak yang akan lahir berkulit kuning dan tampan seperti
burung kepodang. Sedangkan ikan lele demaksudkan agar kelak kalau lahir putri
kepala bagian belakang rata, supaya kalau dipasang sanggul dapat menempel
dengan baik. Usai makan bersama, acara dilanjutkan upacara penjualan
rujak untuk para tamu sekaligus merupakan akhir dari seluruh acara tingkepan
atau mitoni. Sambil bepamitan, para tamu pulang degan dibekali oleh-oleh,
berupa nasi kuning yang ditempatkan di dalam takir pontang dan dialasi dengan
layah. Layah adalah piring yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan, takir
pontang terbuat dari daun pisang dan janur kuning yang ditutup kertas dan
diselipi jarum berwarna kuning keemasan.
Upacara Pernikahan
Adat Jawa Tengah
Sebelum
melaksanakan upacara adat perkawinan, yang pertama kali harus dilakukan adalah memanjatkan
doa kepada Yang Maha Kuasa agar acara dapat berlangsung dengan baik dari awal
sampai akhir.
Masyarakat Jawa Tengah dan sekitarnya akrab dengan
budaya leluhur, bila akan melaksanakan sebuah hajatan, biasanya tak akan lupa
menyediakan sesajen di berbagai tempat tertentu, khususnya di sekitar rumah.
Prosesi Upacara Pernikahan Adat Jawa
Tengah adalah sebagai berikut:
a. Bersih Lahir
Batin
Sebelum kedua
mempelai terikat perkawinan, Sebelum pesta perkawinan tradisonal ini dilangsungkan, keduanya harus dibersihkan
terlebih dahulu baik lahir maupun batin. Tujuannya agar kedua calon mempelai
benar-benar bersih dari segala hal dan siap menyongsong status sebagai suami
istri dalam keadaan bersih.
b. Midodareni
Midodareni adalah
acara perkenalan dan silaturahmi antar keluarga. Dari pihak pria dilakukan oleh
sesepuh dan keluarga dekat pengantin pria. Selain itu wakil orang tua pengantin
pria juga dibekali dengan bingkisan balasan sebagai tanda kasih sayang dari
keluarga pengantin wanita.Prosesi midodareni ini adalah awal dari
rangkaian pesta pernikahan tradisonal yang biasa dilakukan di Jawa.
c. Upacara
Injak Telur
Selanjutnya, Upacara
dan Pesta Pernikahan Tradisional ini dilanjutkan dengan Upacara Injak
Telur. Acara ini mengandung harapan bagi pengantin wanita untuk segera
mempunyai keturunan, karena injak telur ini identik dengan pecah wiji dadi.
Telur ini juga mempunyai makna sebagai keturunan yang akan lahir sebagai cinta
kasih berdua. Kemudian dilanjutkan mencuci kaki pengantin pria yang dilakukan
oleh pengantin wanita yang melambangkan kesetiaan istri pada suaminya.
d. Sikepan Sindur
Setelah acara injak telur selesai dilanjutkan dengan
sikepan sindur yang dilakukan oleh ibu pengantin wanita. Sindur ini akan
dibentangan pada kedua bahu mempelai. Adapun makna upacara ini mengandung
harapan bahwa dengan sinfur tersebut kelak keduanya akan semakin erat karena
dipersatukan dengan ibunda.
Sedangkan tugas ayah sebagai kepala rumah tangga
berjalan di muka sebagai pemandu anak mengikuti langkah terbaik dalam hidup
yang akan dijalani. Sang ayah bertugas sebagai penunjuk jalan kehidupan di masa
depan dan hal ini perlu dijadikan contoh bagi pasangan baru.
e. Acara
Pangkuan
Acara pangkuan disebut juga dengan istilah timbang
bobot. Pada acara ini pengantin pria duduk di paha sebelah kanan dan pengantin
wanita duduk di paha sebelah kiri sang ayah pengantin wanita, yang kemudian ditanya
oleh sang ibu mana yang lebih berat dan dijawab sama berat.
Pada saat ini sang ayah seakan-akan sedang menimbang
keduanya yaitu antara anak kandung dan menantu. Maknanya adalah bila kedua
mempelai sudah mempunyai keturunan akan memiliki kasih sayang kepada
putra-putrinya sebagaimana layaknya sang ayah memiliki kasih sayang yang sama
antara anak kandung dan anak menantu.
f. Kacar-Kucur
Tahap upacara panggih adalah kacar-kucur. Acara ini
melambangkan kesejahteraan dan tugas mencari nafkah dalam kehidupan berumah
tangga yang dilakukan dalam bentuk biji-bijian, beras kuning, uang recehan yang
semuanya diberikan kepada ibu. Begitu berat tugas suami dalam mencari nafkah,
begitu juga istri dalam mengelolanya. Meski begitu mereka tetap ingat kepada orang
tua mengingat perannya yang sangat besar dalam kehidupan seseorang.
g. Dahar Klimah |
Dulang-dulangan
Acara selanjutnya adalah dahar klimah atau
dulang-dulangan. Acara ini cukup menarik dan seru karena kedua mempelai saling
menyuapi yang dilakukan sebanyak tiga kali dan dilanjutkan dengan minum air
putih.
Proses ini sebenarnya mengandung harapan agar kedua
mempelai senantiasa rukun, saling tolong menolong serta sepenanggungan dalam
menempuh hidup baru. Selain itu juga mengandung makna sebagai ungkapan saling
mencintai dan saling memperhatikan pada pasangan.
h. Titik Pitik
Setelah dahar klimah, upacara titik pitik pun
dilaksanakan. Yaitu saat besan datang untuk menyaksikan upacara sakral
tersebut. Dengan hadirnya besan berarti keluarga semakin berambah besar dan
menjadi satu kesatuan yang kuat sebagai keluarga.
i. Ngabekten
| Sungkeman
Ngabekten biasa
disebut dengan istilah sungkeman atau menyembah. Sungkeman pertama ditujukan
kepada orang tua yang diteruskan kepada para sesepuh lainnya seperti nenek,
kakek dan sebagainya.
Sungkeman ini
dilakukan dengan penuh takzim dan membuat suasana haru, karena pasangan muda
ini sangat awam dalam menghadapi persoalan kehidupan rumah tangga. Padahal
sejak itu mereka harus melangkah sendiri dan akan menjadi orang tua bagi
anak-anaknya kelak. Oleh sebab itulah bekal berupa doa restu merupakan hal yang
sangat penting dan ditunggu-tunggu oleh pasangan pengantin.
Prosesi
prosesi tersebut diatas biasanya ada yang dilakukan secara utuh artinya semua
kegiatan upacara pernikahan adat tersebut dilaksanakan semua,
ada pula yang melaksanakan hanya beberapa bagian dari prosesi tersebut diatas.
Semua
prosesi tadi biasanya dilakukan sebelum pesta perkawinan atau bersamaan
dengan pesta pernikahan yang biasanya menggunakan pesta pernikahan tradisional juga.
1. Tedhak Siten (Ritual Turun Tanah)
Tedhak artinya turun atau menapakkan kaki, Siten dari
kata siti artinya tanah atau bumi. Jadi tedhak siten berarti
menapakkan kaki kebumi.Ritual tedhak siten
menggambarkan persiapan seorang anak untuk menjalani kehidupan yang benar dan
sukses dimasa mendatang, dengan berkah Gusti, Tuhan dan bimbingan
orang tua dan para guru dari sejak masa kanak-kanak.
Upacara tedhak siten juga punya makna kedekatan anak manusia kepada IbuPertiwi, tanah airnya.
Upacara tedhak siten juga punya makna kedekatan anak manusia kepada IbuPertiwi, tanah airnya.
Dengan menjalani
kehidupan yang baik dan benar dibumi ini dan sekaligus tetap merawat dan
menyayangi bumi, maka kehidupan didunia terasa nyaman dan menyenangkan. Ini
untuk mengingatkan bahwa bumi atau tanah telah memberikan banyak hal untuk
menunjang kehidupan manusia. Tanpa ada bumi, sulit dibayangkan bagaimana
eksistensi kehidupan manusia , sang suksma yang berbadan halus dan kasar.
Manusia
wajib bersyukur kepada Gusti, Tuhan , diberikan kehidupan yang
memadai dibumi yang alamnya sangat kondusif, memungkinkan mahluk manusia dan
mahluk-mahluk yang lain bermukim disini. Inilah kesempatan untuk berbuat yang
sebaik-baiknya, berkarya nyata, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarganya,
tetapi untuk peradaban seluruh umat manusia, yang semuanya adalah titah Gusti dan
asal muasalnya dari tempat yang sama.
Hendaknya diingat bahwa tanah adalah salah satu elemen badan manusia dan yang tak terpisahkan dengan elemen-elemen yang lain, yaitu air, udara dan api, yang mendukung kiprah kehidupan suksma didunia ini, atas kehendak Gusti.
Hendaknya diingat bahwa tanah adalah salah satu elemen badan manusia dan yang tak terpisahkan dengan elemen-elemen yang lain, yaitu air, udara dan api, yang mendukung kiprah kehidupan suksma didunia ini, atas kehendak Gusti.
Kapan
diadakan upacara tedhak siten?
Pada
waktu seorang anak kecil berumur tujuh selapan atau 245 hari.
.Selapan merupakan kombinasi hari tujuh menurut kalender
internasional dan hari lima sesuai kalender Jawa.Oleh karena itu
selapanan terjadi setiap 35 hari sekali. Bisa jatuh hari Senin Legi, Selasa
Paing dst.
Biasanya
pelaksanaan upacara tedhak siten diadakan pagi hari dihalaman
depan rumah.Selain kedua orang tua bocah, kakek nenek dan para pinisepuh
merupakan tamu terhormat, disamping tentunya diundang juga para saudara dekat.
Seperti pada setiap
upacara tradisional, mesti dilengkapi dengan sesaji yang sesuai.Bermacam sesaji
yang ditata rapi, seperti beberapa macam bunga, herbal dan hasil bumi yang
dirangkai cantik, menambah sakral dan marak suasana ritual.
Sesaji
itu bukan takhayul, tetapi intinya bila diurai merupakan sebuah doa permohonan
kepada Gusti, Tuhan, supaya upacara berjalan dengan selamat dan
lancar. Juga tujuan dari ritual tercapai, mendapatkan berkah Gusti.
Jalannya
upacara
Pertama : Anak dituntun untuk berjalan maju dan menginjak bubur tujuh warna
yang terbuat dari beras ketan. Warna-warna itu adalah : merah, putih, oranye,
kuning, hijau, biru dan ungu.
Ini perlambang , anak
mampu melewati berbagai rintangan dalam hidupnya. Strata kesadarannya juga
selalu meningkat lebih tinggi. Dimulai dari kehidupan duniawi, untuk menunjang
dan mengembangkan diri, terpenuhi kebutuhan raganya, kehidupan materinya cukup,
raganya sehat, banyak keinginannya terpenuhi. Seiring pertumbuhan lahir,
keperluan batin meningkat ke kesadaran spiritual .
Kedua : Anak dituntun menaiki tangga yang terbuat dari batang tebu Arjuna, lalu
turun lagi. Tebu merupakan akronim dari antebing kalbu, mantapnya
kalbu, dengan tekad hati yang mantap.
Tebu Arjuna
melambangkan supaya si anak bersikap seperti Arjuna, seorang yang berwatak
satria dan bertanggung jawab. Selalu berbuat baik dan benar, membantu sesama
dan kaum lemah, membela kebenaran, berbakti demi bangsa dan negara.
Ketiga
: Turun dari tangga tebu, si anak dituntun untuk berjalan dionggokan
pasir. Disitu dia mengkais pasir dengan kakinya, bahasa Jawanya ceker-ceker, yang
arti kiasannya adalah mencari makan. Maksudnya si anak setelah dewasa akan
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keempat : Si bocah dimasukkan kedalam sebuah kurungan yang dihias apik, didalamnya
terdapat berbagai benda seperti : buku, perhiasan, telpon genggam dlsb.
Dibiarkan bocah itu akan memegang barang apa. Misalnya dia memegang buku,
mungkin satu hari dia mau jadi ilmuwan. Pegang telpon genggam, dia bisa jadi
tehnisi atau ahli komunikasi.
Kurungan merupakan
perlambang dunia nyata, jadi si anak memasuki dunia nyata dan dalam
kehidupannya dia akan dipenuhi kebutuhannya melalui pekerjaan/aktivitas yang
telah dipilihnya secara intuitif sejak kecil.
Kelima
: Ayah dan kakek si bocah menyebar udik-udik, yaitu uang logam
dicampur berbagai macam bunga. Maksudnya si anak sewaktu dewasa menjadi orang
yang dermawan, suka menolong orang lain. Karena suka
menberi, baik hati, dia juga akan mudah mendapatkan rejeki. Ada juga ibu
si anak mengembannya, sambil ikut menyebarkan udik-udik.
Keenam : Kemudian anak tersebut dibersihkan dengan dibasuh atau dimandikan
dengan air sritaman, yaitu air yang dicampuri bunga-bunga : melati,
mawar, kenanga dan kantil.
Ini merupakan
pengharapan , dalam kehidupannya, anak ini nantinya harum namanya dan bisa
mengharumkan nama baik keluarganya.
Ketujuh : Pada akhir
upacara, bocah itu didandani dengan pakaian bersih dan bagus. Maksudnya supaya
si anak mempunyai jalan kehidupan yang bagus dan bisa membuat bahagia
keluarganya.
Demikian, ritual tedhak siten telah selesai. Seluruh keluarga
berbahagia dan berharap semoga Gusti memberikan berkahnya, supaya tujuan
ritual berhasil. Selanjutnya para hadirin dipersilahkan menyantap
hidangan yang telah disediakan.
Sistem Religi dan Kepercayaan
Agama Islam merupakan agama yang dianut
oleh sebagian besar masyarakat suku bangsa Jawa. Hal tersebut tampak nyata pada
bangunan-bangunan tempat beribadah bagi umat Islam.
1.
Golongan Islam santri adalah golongan
Islam yang menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran Islam. Dengan
melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan syariat- syariatnya.
2.
Golongan Islam Kejawen ialah golongan yang
percaya pada ajaran Islam. Tetapi tidak secara patuh menjalankan rukun
Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap daerah memiliki kebudayaan sendiri-sendiri, dan
itu merupakan ciri khas mereka, meskipun memang pada intinya sama, yaitu
mengajarkan atau menuntun kebaikan. Kebudayaaan sendiri adalah karakter yang
nantinya mencirikan tiap-tiap daerah atau bahkan negara. Memang diakui sendiri
peraturannya sulit dan bermacam-macam, namun masyarakat sendiri dengan sadar
diri dan ikhlas melakukannya, karena mereka sadar mereka adalah bagian dari
kebudayaan pada daeah tersebut.Meskipun ada yang berbau mistis, namun mereka
tetap tidak meninggalkan syariat agama masing-masing, artinya mereka dengan
pintar memadukan antara kebudayaan dan ajaran agama. Intinya bahwa kebudayaan
adalah sikap atau kebiasaan yang “baik” yang dihasilkan oleh suatu masyarakat
dan melekat pada masyarakat tersebut, sekalipun itu sulit dilakukan.
B. Saran
Budaya merupakan karekter bangsa, maka dari itu kita
wajib melestarikan agar kita menjadi bangsa yang bermartabat. Setiap kebudayaan
tidak ada yang baik atau buruk karena pada intinya sama, yaitu menuntun manusia
berbuat baik. Meskipun berbeda namun hati tetap sama, justru dengan adanya
keanekaragaman itu kita menjadi manusia yang bisa lebih menghargai orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar